Dian Garini Lituhayu

Lahir dan tumbuh di Kota Samarinda, aku rapat dengan budaya Melayu yang kental mewarnai kehidupan pinggiran Sungai Mahakam. Berkeseharian sebagai ibu dan ibu gu...

Selengkapnya
Navigasi Web
PEREMPUAN DALAM PASUNGAN CINTA  EPISODE 1

PEREMPUAN DALAM PASUNGAN CINTA EPISODE 1

Perempuan Dalam Pasungan Cinta

EPISODE 1-Dian Garini Lituhayu-

"Mbak ngapain ngikutin saya terus?" tanyaku tanpa menoleh ke belakang.

Kurasakan dia, perempuan itu sedari lepas waktu Dzuhur tadi mengikutiku kemanapun aku pergi. Mulai saat aku mandi, sampai aku sudah duduk dengan setumpuk laporan yang harus kuselesaikan. Dia mengamatiku dari jarak yang sangat dekat. Tak kugubris. Aku bergeming. Meskipun beberapa kali suara tangisnya mengganggu telingaku. Tapi setengah hari sudah berlalu, dan dia masih mengikutiku. Dan akhirnya, kali ini kutanyai dia, yang setengah harian ini sibuk mendekatiku. Dia tak menjawab. Wajahnya yang pucat terlihat sebagian saja, dengan rambut masai menutupi setengah wajahnya yang lain. Kini kulihat dengan jelas, dia duduk di dekat kakiku.

Hotel transit ini tidak terlalu luas. Beberapa kali aku mampir kesini. Sederhana dan klasik modelnya. Makanannya lumayan. Musik yang mengalun disekitarnya juga bukan lagu galau. Bergenre slow country dengan sesekali kudengar tembang pop lawas. Santai suasananya. Penginapan keluarga sepertinya, meskipun beberapa kali aku berkunjung, selalu bertemu banyak rombongan instansi yang menginap disana. Seperti biasa, aku selalu dalam rangka urusan pekerjaan, tak pernah urusan pribadi. Kali ini juga, sama. Pesawat dari tempatku bertugas di pelosok daerah yang mengharuskanku transit kembali di kota ini, membuatku rehat sejenak, di hotel bintang tiga ini.

Segera setelah mandi, aku duduk membuka kotak makanan di depanku. Aku sedang tak berhasrat makan nasi, seperti sepekan ini. Entahlah, apa mungkin karena badanku menyadari aku sudah mulai punya lipatan anakondanya disana sini. Isi kotak kumakan lauk dan buahnya. Sayur sop kuseruput dari sudut plastiknya dan kututup dengan menyelesaikan kriuk sampai akhir kerupuk udangnya. Perempuan itu beberapa kali menangis, kudengar saat mengemas sisa kotak makanan dan memasukkannya ke tong sampah di bawah wastafel kamar mandi. Suaranya lamat sampai terang.

Kutuangkan air panas dari teko listrik yang sejak awal aku makan sudah kunyalakan. Membancuh teh celup hitam sajian hotel dalam cangkirku. Kunyalakan TV, siarannya HBO. Film kartun yang sedang diputar. Kuseruput teh panasku. Suara perempuan itu kembali terdengar. Menangis. Tak kuperhatikan. Volume televisi kunyaringkan. Film kartun dengan binatang-binatang hutan itu mengisi ruangan kamar ini dengan nyanyian dan candaan di dalamnya. Aku masuk ke dalam selimutku dan mulai memejamkan mataku. Perempuan itu kembali terdengar menangis.

"Mbak tidak boleh ikuti saya terus.." ucapku.

Dia masih duduk di dekat kakiku. Dia tak menjawab. Hanya menunduk saja. Badannya tak besar, kulihat tangan dan betisnya yang berukuran sedang. Terlihat kering kecoklatan.

"Masak Mbak mau ikut saya pulang ke Kalimantan?" tanyaku kembali. Dia tetap bergeming.

"Sudah dua kota Mbak ikut saya, hanya di pulau Jawa Mbak bisa begini, ketika nanti menyeberang lautan, Mbak harus tinggal disini.." Kebayanya lusuh. Modelnya kuno dengan warna hijau pudar. Masih duduk di dekat kakiku, sebelah kanan.

"Mba mau cerita apa?" tanyaku kembali. Kudengar kini suara tangisnya. Merintih seperti sangat pilu.

"Yah si Mbak, kalau cuma mau nangis, ngapain sampai hampir tengah malam begini ngikutin saya terus. Kalau mau balap-balapan nangis boleh deh. Macam Mbak saja yang punya masalah. Tahu gak Mbak, masalah saya juga banyak. Soal cinta? Soal pekerjaan? Soal duit? Soal hutang? Banyak Mbak. Saya bubaran gak jelas dengan Bambang, pekerjaan saya yang mementingkan orang yang dekat dengan atasan, hutang saya yang banyak dan masih panjang. Pengen nangis juga sih kadang-kadang Mbak. Tapi ya inget pesennya Habib Novel, bahwa masalah itu hadiah. Berkah kehidupan kalau disyukuri.." malah aku yang panjang lebar merepek.

"Saya harus tidur Mbak, perjalanan saya masih jauh. Laporan setiap kota yang harus saya setor, harus dibuat tepat waktu. Kalau Mbak mengganggu saya terus, tanpa mau cerita, saya tinggal tidur saja lah ya. Tapi Mbak keluar! Jangan disitu. Nanti saya gak bisa lelap.."

Perempuan itu menangis kembali, kini lebih sedih, lebih pilu. Mengiris hati siapapun yang mendengarnya. Kudengar beberapa orang ngobrol diluar kamar, di lorong menuju lift naik dan turun. Kamarku berada di lantai tiga. Paling pojok, dekat dengan tangga darurat.

"Atau Mbak ke kamar sebelah saja ya. Saya puyeng ini. Jamu masuk angin saya ketinggalan di meja kantor kemarin. Mau beli gak sempat.." kubuka tasku, mengambil minyak kayu putih dan mengoleskannya ke kakiku. Perempuan itu bergerak mundur dan menutup hidungnya.

"Mbak gak suka minyak kayu putih ya?" tanyaku sambil menunjukkan botol kaca bening bergambar ayam itu kepadanya.

Minyak kayu putih produksi pulau Sumatera itu kubeli saat perjalananku ke Riau beberapa pekan lalu. Berbeda sedikit dengan minyak kayu putih dari pulau Buru. Aromanya sekilas mirip, tapi berbeda. Minyak kayu putih asal pulau Buru lebih ringan teksturnya seperti air yang pekat. Mirip dengan minyak kayu putih produksi Australia yang tak terlalu berminyak. Tak cuma kaki, kini lengan, leher dan dada kuolesi minyak ini. Aku suka. Seperti ada sensasi wangi bersih setiap kali kuoleskan minyak ini di badanku. Meskipun kalau lazim, aku ingin mengoleskan karbol pinus ke seluruh tubuhku. Suka baunya.

Perempuan itu beringsut mundur. Masih sambil menutup hidungnya. Kini kulihat sebagian wajahnya yang tadi tertutup rambut. Pucat.

"Mbak gulung deh rambutnya, supaya lebih rapi. Nih kaya rambut saya.." sambil kupegang gelungan tinggi rambutku.

Rambutku tak kalah panjang dari rambut perempuan yang kini duduk di sudut ruangan itu, mirip rambut eyang Susanna. Panjang sampai menyentuh lantai. Hitam pekat bergelombang dan tak pernah tersentuh catokan. Tanpa kuduga perempuan itu mulai menggulung rambut panjangnya, meletakkannya di tengkuknya dan menjepitnya dengan jepitan rambut yang bahannya mirip sisik kura-kura berwarna hijau tua yang tak tahu darimana datangnya. Kini kulihat dia duduk di bangku kayu di sudut kamar. Kain panjang yang dikenakannya berwarna putih gading dengan lukisan batik bunga-bunga kecil dengan sulur parang berwarna coklat. Kebaya hijau pudarnya bermodel sederhana dengan potongan dada rendah. Khas kebaya lawas.

"Mbak, kalau saya tidur, Mbak keluar ya. Saya agak usik kalau tidur. Kalau Mbak dekat-dekat, nanti malah ketendang.." aku mencoba membuka obrolan lagi.

Mataku sudah siwer. Ngantuk berat. Kuperhatikan airmatanya menetes perlahan dari sudut matanya. Tatapan yang kosong ke arah sudut lainnya.

"Ah si Mbak. Nangis lagi.." kuambil tumpukan laporan di mejaku, sudah rapi dan teratur susunannya.

Kumasukkan dalam binder hitam-kuningku, dan segera berpindah tempat ke dalam ransel laptopku. Packing harus selesai. Dinihari nanti aku harus mulai perjalanan kembali. Menuju Bandung, Paris Van Java. Aku bergegas ke kamar mandi, mengambil wudhu dan menggosok gigi. Kuoleskan krim malam berbau jeruk ke pipiku. Sudah tua rupanya aku. Sambil mematut wajahku di depan cermin. Perempuan itu masih duduk disitu, ditempatnya tadi. Kuintip penampilannya dari cermin kecilku. Dia seperti putri. Rambutnya rapi dalam gelungan sanggul ringan di tengkuknya. Anak rambutnya melambai di keningnya yang mulus dengan alisnya yang tebal natural. Kulitnya bersih sawo matang. Sepasang gelang gading berwarna putih susu ditangan kiri dan kanannya. Dia juga mengenakan gelang kaki. Hanya disebelah kiri. Berwarna perak kehitaman. Kututup kaca kecilku dan meletakkannya ke dalam tas kosmetikku, batik hitam bahannya.

"Mbak berhenti nangis deh ya.." pintaku.

"Sudah sejak dua Minggu lalu saya berhenti menangis, memilih nrimo dengan segala skenario langit.." ucapku.

Perempuan itu masih duduk disitu, di bangku di sudut ruangan. Matanya kosong menatap satu arah. Airmatanya masih mengucur deras meskipun kini suara tangisnya justru hampir tak terdengar.

"Kalau Mbaknya cuma mau nakut-nakutin saya dengan berlaku seperti ini. Salah orang Mbak. Saya sudah tidak punya rasa takut lagi. Ketika Bambang pergi membawa seluruh harapan saya pada hidup saya, saya sudah tidak takut apapun. Bahkan mati. Ketika Bambang yang saya sayangi itu meninggalkan saya sendirian tanpa kata-kata dan kalimat perpisahan, saya sudah tidak pernah berpikir menjadi layangan putus seperti kisah nyonya pemilik stasiun televisi itu. Mbak tahu kan ceritanya? Saya sudah melepaskan keterikatan pada apapun dan siapapun. Jadi kalau mau nakut-nakutin, dengan nangis sejak dari kamar mandi bandara kota sebelah tadi pagi, sampai sembunyi di bawah wastafel kamar mandi hotel ini, atau sembunyi di dalam lemari baju seperti saat magrib tadi, gak ngaruh Mbak.." ucapku pelan, meletakkan kepalaku di bantal empuk khas hotel dan mulai memejamkan mata.

Kutarik selimut dengan rapat dan mulai berdoa. "Bismillahirrahmanirrahim, bismika allahumma ahya wa amuut. Astaghfirullah al adziimm.. qudduusuy yahdii may yasyaa'.."

---

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kutunggu

23 Jan
Balas

Kutunggu

23 Jan
Balas

Kutunggu

23 Jan
Balas

Kutunggu episode selanjutnya Bunda...Barakallah..

23 Jan
Balas



search

New Post